۩ Keyakinan Imam Syafi’i bahwa Alquran tidak sedikitpun dicampuri oleh kebatilan.
قال الشافعي: الحمد لله على جميع نعمه بما هو أهله وكما ينبغى له وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأن محمد عبده ورسوله بعثه بكتاب عزيز لا يأتيه الباطل من بين يديه ولا من خلفه تنزيل من حكيم حميد فهدى بكتابه”. (الأم : (7 / 309
Berkata Imam Syafi’i: “Segala puji bagi Allah atas segala nikmat-Nya. Dengan segala pujian yang menjadi milik-Nya dan pujian yang sepantasnya bagi-Naya. Aku bersaksi bahwa tiada yang berhak disembah kecuali Allah semata, yang tiada sekutu baginya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah. Yang telah diutus dengan membawa kitab yang agung, yang tidak dicampuri oleh kebatilan dari arah depan dan tidak pula dari arah belakang. Yang diturunkan dari Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. Maka Allah memberi petunjuk dengan melalui kitab-Nya.”[1]
قال الربيع بن سليمان أخبرنا الشافعي رحمه الله في ذكر نعمة الله علينا برسوله بما أنزل عليه من كتابه فقال {وإنه لكتاب عزيز لا يأتيه الباطل من بين يديه ولا من خلفه تنزيل من حكيم حميد} فنقلهم به من الكفر والعمى إلى الضياء والهدى
Berkata Rabi’ bin Sulaiman: “Imam Syafi’i menceritakan kepada kami tentang nikmat Allah kepada kita melalui Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan apa yang diturunkan kepadanya dari kitab-Nya (Alquran). Lalu ia membaca firman Allah:
{وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ (41) لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ} [فصلت/41، 42]
“Dan sesungguhnya Alquran itu adalah kitab yang mulia. Yang tidak datang kepadanya (Alquran) kebatilan baik dari arah depan maupun dari arah belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.”
Maka Allah memindahkan mereka dengan kitab tersebut dari kekafiran dan kebutaan kepada cahaya dan petunjuk.”[2]
Sesungguhnya segala isi Alquran adalah hak (benar) tidak ada cacat sedikitpun. Baik ditinjau dari segi Aqidah, syari’ah, mu’amalah maupun akhlah. Hukumnya sangat sangat adil, beritanya sangat akurat, kisahnya sangat nyata, demikian pula janjianya sangat tepat.
Allah berfirman,
{وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ حَدِيثً} [النساء/87] {وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ قِيلا} [النساء/122]
“Dan siapakah orang yang lebih benar ucapan(nya) dari pada Allah ?”
“Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah ?”
Dari sini menjadi jelas bagi kita betapa hina dan nistanya orang yang mencela hukum-hukum Alquran. Seperti mencela hukum poligami, tata cara pembagian warisan, hukum memakai hijab (jilbab) dan hukum-hukum lainya. Hal tersebut telah menimbulkan kerusakan yang amat besar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Mereka bagaikan orang yang digambarkan Allah dalam firman-Nya,
{يَأْمُرُونَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ} [التوبة/67]
“Mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma’ruf .”
۩ Imam Syafi’i membantah pelaku bid’ah dengan Alquran dan sunnah.
عن أبي ثور قال لما ورد الشافعي العراق جاءني حسين الكرابيسي وكان يختلف معي الى أصحاب الرأي فقال قد ورد رجل من أصحاب الحديث يتفقه فقم بنا نسخر به فذهبنا حتى دخلنا عليه فسأله الحسين عن مسألة فلم يزل الشافعي يقول قال الله وقال رسول الله حتى أظلم علينا البيت فتركنا بدعتنا واتبعناه (حلية الأولياء: 9/103
Berkata Abu Tsaur, “Tatkala Syafi’i datang ke Bahgdad, datang kepadaku Husain Al Karabisy. Dia dan aku sering datang ketempat Ahlu Ra’yi (Ahlu bid’ah). Maka ia berkata kepadaku: telah datang ke Bahgdad seorang Ahli hadits untuk belajar. Mari kita pergi mempeolok-olokannya. Maka kami berangkat dan bertemu dengannya. Lalu Husain bertanya kepadanya tentang satu persoalan. Senantiasa Syafi’i menyebutkan perkataan Allah dan perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sampai rumah terasa gelab oleh kami. Sehingga kami meninggalkan bid’ah kami dan kami mengikutinya.”[3]
Sebagaimana yang menjadi pokok pegangan Ahlussunnah wal jama’ah. Bahwa bid’ah tidak boleh ditolak dengan bid’ah pula. Imam syafi’i adalah tokoh termuka Ahlussunnah. Beliau telah menjelaskan berbagai kaedah Ahlussunnah baik dalam bentuk lisan, tulisan maupun perbuatan. Perdebatan beliau dengan pelaku bi’ah sangat mashur sekali.
Berkata Syeikh Islam Ibnu Taimiyah, “Keutamaan Imam Syafi’i dan perjuangannya dalam mengikuti Alquran dan sunnah serta membantah orang yang menetang akan hal demikian sangat banyak sekali.”[4]
Beliau dalam mengemukan dalil-dalil baik dari Alquran maupun dari hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat cepat dan telaten. Sehingga hujjah yang beliau kemukan sangat kuat dan tepat.
Berkata Ibnu Katsir, “Sesunguhnya Syafi’i termasuk diantara manusia yang paling berilmu tentang makna-makna Alquran dan sunnah. Dan diantara manusia yang sangat cepat menangkap dalil-dalil dari keduanya. Serta termasuk diantara manusia yang paling baik tujuan dan keikhlasannya.”[5]
Ketika seseorang tidak berpegang kepada Alquran dan hadits dalam mengomentari pelaku bid’ah, ia akan tergelincir pada kesesatan lain. Maka oleh sebab itu istilah “memukul lawan dengan senjata lawan” adalah keliru. Karena kita memiliki senjata yang lebih ampuh dari senjata mereka. Kenapa kita harus memakai senjata lawan sedangkan kita memiliki senjata yang lebih kuat.
Lahirnya paham sesat dalam Islam seperti jahmiya dan mu’tazilah adalah karena mereka tidak berpegang kepada Alquran dan sunnah dalam mengomentari lawan-lawan mereka.
۩ Pernyataan Imam Syafi’i terhadap orang yang mengatakan Alquran adalah makhluk.
قال الربيع بن سلييمان سمعت الشافعي يقول: “من قال القرآن مخلوق فهو كافر”. (اعتقاد أهل السنة: 2/252)
Berkata Rabi’ bin Sulaiman, “Aku mendengar Syafi’i berkata, “Barangsiapa yang mengatakan Alquran adalah makhluk maka ia dalah kafir.”[6]
Dasar pengangungan seseorang kepada Alquran berangkat dari pandangannya terhadap Alquran itu sendiri. Jika orang tersebut menganggap bahwa Alquran adalah Perkataan Allah. niscaya orang tersebut akan menghormati dan menganggungkan Alquran. Karena Perkataan Allah adalah sifat Allah yang sempurna dalam segala segi baik dari segi lafazh maupun makna serta susunan kalimatnya. Oleh sebab itu tidak satupun dari makhluk mampu menandinginya walau satu surat saja.
Dari sini nyata kebatilan pendapat-pendapat yang mengatakan,
- Alquran adalah makhluk, pernyataan ini bertentangan dengan Alquran.
Karena Alquran dinyatakan sebagai Kalam Allah dalam firman-Nya,
أَفَتَطْمَعُونَ أَنْ يُؤْمِنُوا لَكُمْ وَقَدْ كَانَ فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِنْ بَعْدِ مَا عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ [البقرة/75]
“Mereka mendengar Kalam (perkataan) Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui.”
Juga firman Allah,
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ [التوبة/6]
“Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar Kalam Allah.”
Kalam Allah adalah sifat Allah, barangsiapa yang mengatakan sifat Allah adalah makhluk maka ia adalah kafir. Karena ia meyakini bahwa pada Zat Allah ada makhluk sebab sifat Allah terdapat pada Zat-Nya.
- Alquran hikaayah atau ‘ibaarah dari Kalam Allah (maknanya dari Allah, lafazhnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pandangan jelas kebatilannya, karena menyamakan antara Alquran dengan hadits Rasulullah. Sebab hadits maknanya dari Allah lafaznya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau seandainya lafaznya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu orang yang berhadas besar tidak dilarang menyentuh Alquran seperti hadits.
- Alquran adalah perkataan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Orang yang mengatakan Alquran adalah perkataan Nabi Muhammad, ia telah diancam oleh Allah dalam firman-Nya,
{إِنْ هَذَا إِلَّا قَوْلُ الْبَشَرِ (25) سَأُصْلِيهِ سَقَر} [المدثر/25، 26]
“(Ia berkata): Ini tidak lain hanyalah perkataan manusia. Aku akan memasukkan dia (yang berkata demikian) ke dalam (neraka) Saqar.”
Penjelasan lebih luas akan kita kupas insya Allah dalam topik keyakinan Imam Syafi’i dalam beriman tehadap sifat-sifat Allah.
=Bersambung Insya Allah=
Penulis: Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra,M.A.
Artikel www.dzikra.com
[1] Lihat Al Umm, 7/309.
[2] Lihat Ahkaamul Qur’an, 20.
[3] Lihat Hilyatul Auliyaa’, 9/103.
[4] Lihat Majmu’ Al fataawa, 20/330.
[5] Lihat Al Bidaayah wan Nihaayah, 10/253.
[6] Lihat I’tiqaat Ahlissunnah, 2/252.